Selasa, 11 September 2007

Sajak

Atah Hate

Nangtung di kariuangan

Manuk beo ngadodoho

Molototan indung lembu

Asa aing uyah gidulna

Boa-boa hate geus runggat

Katututpan ku poekna mega

Iraha arek beurang deui ?

Mang Amat, 02

Dago Pakar, 17 September 2005

Banda Sasampiran

Tikoro belah jero

Teu beunang dikoet

Melitna dina liang jarum

Nu ngageugeuh panceg pageuh

Renceumna emas dina raga

Hirupna kaayaan

Teu weleh nembongkeun

Siga bentang kabeurangan

Mang Amat, 02

Dago Pakar, 17 September 2005

SEJARAH SUNDA

Sumber Tradisional Sejarah Sunda:

Sebuah Perkenalan Singkat

  1. Pamuka

Menurut Husein Jayadiningrat, di Indonesia sudah sejak lama berkembang tradisi penulisan sejarah. Di Jawa misalnya, tradisi itu menghasilkan sejumlah karya “Kisah Sejarah” yang disebut babad sejarah, dan serat kanda; di dunia Melayu namanya dikenal sebagai hikayat, sejarah , tutur dan salsilah. Dalam pada itu masyarakat Sunda mengenal karya tradisional itu sebagai sajarah, carita dan wawacan (1965:74).

Sepanjang data yang terkumpul dapat diketahui bahwa karya “kisah sejarah” tertua yang diwariskan leluhur Sunda hingga saat ini adalah CP (Carita Parahyangan) yang dituliskan sekitar tahun 1580 Masehi (Aca 1968). Dari masa yang lebih kemudian muncul karya yang lain, di antaranya adalah CRP (Aca 1970), Carita Waruga Guru (Pleyte 1911) dan Carita Waruga Jagat (Edi S. Ekajati dkk 1985:12).

Dalam keempat karya itu, peristiwa dan kisah sejarah yang diabadikan pada umumnya terjadi pada masa kekuasaan kerajaan Sunda (atau Pajajaran). Walaupun CP menyebutkan kata selam “Islam”, nama itu justru digunakan sebagai salah satu kata kunci untuk mengakhiri kisah sejarah kekuasaan raja-raja Sunda. Artinya, kisah itu berhenti dengan dikalahkannya Sunda oleh pasukan Islam dalam tahun 1579. Demikian juga dalam ketiga karya yang lain, kisah sejarah itu hampir utuh berbicara tentang Negara (dan masyarakat) Sunda sebelum Islam. Namun tidak selamanya demikian Cerita Dipati Ukur (Edi S. Ekajati 1982), misalnya, justru berkisah tentang tokoh dan peristiwa sejarah yang terjadi di tanah Sunda pada paruh awal abad ke-17. Hal itu bukan hal yang aneh, apalagi jika dihubungkan dengan pendapat Aca (1973) yang menyatakan bahwa istilah carita lebih dulu digunakan dalam tradisi tulis Sunda, dalam makna yang sama dengan babad.

Babad dan sejarah sebagai istilah digunakan dalam tradisi tulis Sunda lebih kemudian. Bahkan babad yang menurut Darusuprapta bermakna ‘jenis cerita yang bernilai sejarah atau dekat hubungannya dengan sejarah’ (Edi S. Ekajati dkk 1985) itu, pada kurun waktu tertentu digunakan hampir “tanpa kendali”. Bukan hanya kisah, tokoh, peristiwa, atau ihwal sejarah yang diabadikan dalam babad. Bagaimana cara menanam enau (Babad Kawung Baduy, Babad Kawung galuh, Babad Kawung Lebak), misalnya, juga diabadikan dalam babad. Demikian juga halnya dengan dengan sajarah, isinya yang walaupun pada umumnya berkenaan dengan masa sesudah Islam menyebar, ada juga yang berkisah mengenai tokoh, peristiwa, dan ihwal dari masa sebelumnya.

Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa penggunaan ketiga istilah itu, tidak terutama mengacu kepada isinya, melainkan lebih kepada masa dan lingkungan penulisannya. Carita pada umumnya dari masa sebelum Islam, dan berlanjut pada masa sesudahnya. Babad digunakan setelah pengaruh Jawa merasuk dalam kehidupan masyarakat dan budaya Sunda (sejak awal abad ke-17), sedangkan hikayat berasal dari masa ketika Islam sudah kukuh dalam hidup dan kehidupan masyarakat Sunda.

  1. Isi Sumber Tradisional Sejarah Sunda

Berdasarkan batasan umum yang secara sederhana dikemukakan itu, sumber tradisional sejarah Sunda dengan demikian dapat dibagi ke dalam dua babak penulisan. Babak pertama adalah yang berasal dari masa sebelum Islam, atau ketika Islam belum mengakar dalam hidup dan kehidupan masyarakat atau dari tempat-tempat yang masih belum tersentuh oleh Islam. Secara umum babak ini ditandai dengan karya yang menggunakan istilah carita, sedangkan waktunya pada umumnya berasal dari sebelum abad ke-17. Karya yang mewakili itu antara lain SSKK (1518), Carita Warga Jagat, dan CRP.

Sumber sejarah dari kelompok itu pada umumnya berbicara mengenai kehidupan masyarakat yang belum tersentuh oleh pengaruh Islam. Salah satu penulisan naskah yang berkembang adalah yang dikenal sebagai Kabuyutan Ciburuy, di daerah Garut sekarang. Dari kabuyutan itulah berasal puluhan naskah lontar (gebang, nipah) yang kemudian menjadi khazanah Perpustakaan Nasional (Holle 1867). Naskah Ciburuy pada umumnya memuat ajaran keagamaan (Hindu dan Buda), pendidikan, akhlak dan sejarah. Diantara naskah-naskah itu yang sudah “selesai” digarap hingga sekarang antara lain CP (Aca 1968), CRP (Aca 1970), SSKK (Aca 1973), Amanat dari Galunggung (Aca dan Saleh Danasasmita 1981), Sewakadarma (Saleh Danasasmita dkk 1978), Serat Dewabuda (Ayatrohaedi 1986), Kawih Paningkes (Ayatrohaedi dkk 1987) dan Jatiniskala (Ayatrohaedi 1994).

Setelah pengaruh Islam mulai mengakar dalam kehidupan masyarakat Sunda, tradisi tulis Sunda memperlihatkan pengaruh yang kuat dari Islam. Hal itu antara lain terlihat dalam naskah Carita Waruga Guru yang dituliskan pada kertas dari awal abad ke-18 (Noorduyn 1971:153).

Selain mulai digunakannya aksara dan sejumlah kata Arab, naskah masa Islam juga menonjol isinya yang mengandung sejumlah hikayat dan kisah yang didasarkan kepada sejarah dan ajaran Islam. Diantara tokoh Islam yang paling banyak dikisahkan dalam sastra tulis Sunda masa itu adalah para nabi dan Amir Hamzah, tokoh yang juga banyak dikisahkan dalam sastra Melayu dan Jawa dari masa yang sama (Ayatrohaedi 1980:150). Kandungan naskah dari masa awal awal pemengaruhan dan penyebaran Islam hingga masa yang lebih kemudian, antara lain berupa agama, susila, hukum, adat istiadat, mitologi, pendidikan, pengetahuan, primbon, sastra, sastra sejarah, dan seni (Edi S. Ekajati dkk 1987:4).

Naskah agama yang terdapat dalam khazanah Perpustakaan Nasional, Jakarta, berdasarkan pencatatan terakhir yang pernah dilakukan, berjumlah 44 buah. Museum Cigugur (Kuningan) 9, Museum Pangeran Geusan Ulun (sumedang) 3, Museum Negeri Jawa Barat Sri Baduga (Bandung) 1, sedangkan yang tersebar di berbagai tempat di luar negeri (umumnya tentang tasawuf dana sejarah para nabi) berjumlah 232. Di samping itu masih ada sejumlah naskah yang masih dimiliki dan dipelihara oleh pemilik atau ahli warisnya (Edi S. ekajati 1987). Dengan demikian jumlah semuanya ada 289 buah.

Dalam pada itu, naskah yang berkenaan dengan sejarah, terutama sejarah tokoh Islam dan para nabi, juga cukup banyak ditemukan. Hasil pencatatan yang sama mendaftarkan naskah sastra sejarah dan sejarah yang tersimpan di Perpustakaan sebanyak 120 buah. Di berbagai tempat di luar negeri jumlahnya 148 buah. Berarti jumlah semuanya ada 268 naskah, kedalamnya termasuk sejarah lokal dan yang tidak bernafaskan Islam.

  1. Buku Sejarah Karya “Panitia” Wangsakerta

Dalam pada itu, temuan sejumlah naskah sejarah karya Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawannya (NPW) dari Cirebon, merupakan suatu hal yang menarik untuk dicatat. Jumlah karya Wangsakerta yang sudah ditemukan hingga saat ini ada 50 jilid, sekarang semuanya tersimpan di Museum Negeri Jawa Barat Sri Baduga (Edi S. Ekajati dkk. 1987: 167-81). Kemenarikan itu disebabkan antara lain oleh sistematika penyusunannya, yang dimulai dengan pengumpulan bahan, pembahasan dalam suatu musyawarah, pengajuan hasil penulisan untuk dibahas lebih lanjut (ditolak atau diterima), baru penyusunan akhir. Naskah-naskah itu disusun dalam waktu 21 tahun (1677-98), sedangkan pelindung dan pemberi restu atas kegiatan kesejaharahan itu adalah Sunan Amangkurat II dari Mataram, Sultan Ageng tirtayasa dari Banten, dan kedua sultan Cirebon, yaitu Sultan Sepuh I dan Sultan Anom I; gagasan awalnya berasal dari Panembahan Girilaya (ayah Sultan Sepuh I, Sultan Anom I, dan Pangeran Wangsakerta), raja Cirebon yang “ditawan” Sultan Mataram, yang mendambakan adanya sebuah “buku pegangan bagi mereka yang ingin mengetahui kisah para leluhur dan daerahnya sejak masa lalu”. Selain itu, Wangsakerta menyatakan bahwa apa yang dituliskannya itu merupakan “pengembangan” karya pamannya, Pangeran Arya Carbon, yang meninggalkan naskah CPCN dalam tahun 1720 (Atja 1986).

Untuk mewujudkan amanat itu, Pangeran Wangsakerta melakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut:

a. Menyusun “panitia” untuk menyelenggarakan musyawarah di Cirebon

b. Menyelenggarakan musyawarah dengan para peserta terdiri atas para ahli dan pakar yang berasal dari seluruh Nusantara; dan

c. Menyusun kisah berdasarkan asupan selama musyawarah dalam bentuk pustaka yang siap baca (Ayatrohaedi 1989:10)

Panitia yang langsung bertanggung jawab kepada Sultan Sepuh dan Sultan Anom itu juga menentukan, siapa saja ahli dan pakar yang patut diundang ke musyawarah itu. Pada dasarnya panitia menganggap bahwa tiap daerah Nusantara harus diwakili, dan karena itu mereka diundang. Anggota panitia intinya yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta itu terdiri atas tujuh orang jaksa pepitu (mereka turut hadir dalam dan menandatangani perjanjian dengan Kumpeni, 7 Januari 1681) sebagai pelaksana. Mereka adalah Raksanagara yang bertugas sebagai pengumpul dan penyaring bahan naskah dan pengatur musyawarah, Anggadiraksa yang bertugas sebagai wakil penulis merangkap bendahara; Purbanagara yang bertugas sebagai dan penyaring bahan naskah; Singanagara yang bertugas sebagai penanggungjawab keamanan, Anggadipraja yang bertugas sebagai duta keliling, mengirim undangan, dan menjadi jurubahasa; Anggaraksa yang bertugas sebagai penanggungjawab konsumsi; dan Nayapati sebagai penanggungjawab pemondokan dan angkutan (kys.:11).

Dalam musyawarah itu para peserta dibagi ke dalam lima sangga ‘kelompok’; menurut Wangsakerta tikai pendapat dalam tiap sangga sering “sangat panas” sehingga harus diingatkan bahwa tujuan mereka bermusyawarah adalah untuk menghasilkan “buku pegangan”, bukan untuk bertengkar, apalagi berkelahi. Dalam musyawarah itu dilakukan tahap pembahasan dan penulisan: (a) tiap anggota sangga menyusun/menyajikan kisah daerahnya masing-masing, isinya harus disepakati oleh sidang sangga; (b) hasil musyawarah sangga harus dikemukakan dalam sidang lengkap melalui paujar ‘juru bicara’; (c)” kebenaran” yang disampaikan itu dinilai oleh para penasihat; (d) kecocokannya dinilai berdasarkan isi pustaka yang telah diakui keabsahannya; (e) (setelah disepakati bersama) dibuatkan risalah resminya; (f) dimintakan persetujua/restu dari para sultan penaja; dan (g) dipustakakan (dibukukan) oleh panyurat ‘jurutulis’ dengan tanggungjawab Pangeran Wangsakerta.

Karya Panitia Wangsakerta (yang sudah terkumpul) terdiri atas lima seri karangan, yaitu Nagarakertabhumi (5 naskah), Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (25), Pustaka Pararatwan (10), Dwipantaraparwa (9), dan Carita Parahyangan (5).(Edi s. ekajati dkk. 1988:167). NPW itu sangat menarik, karena apa yang mereka lakukan ternyata “mengikuti” kegiatan penelitian sejarah secara modern; diawali dengan heuristik dan diakhiri dengan historiografi. Namun, tentulah kehadiran naskah-naskah itu tidak untuk ditelan demikian saja, diperlukan kecermatan dan kejelian untuk mengajinya lebih seksama. Yang pasti, ada baiknya jika naskah-naskah itu dijadikan sebagai “berita awal” dalam kegiatan penelitian dan penelitian sejarah yang akan dilakukan (Ayatrohaedi 1988;1989).

Jika ditilik dari jihad pemaparan kesejarahannya, akan nampak sesuatu yang sangat menarik, terutama jika diingat bahwa semuanya itu dituangkan dalam naskah menjelang akhir abad ke-17. Secara keseluruhan, NPW berkisah mengenai “sejarah” Nusantara sejak masa yang paling awal (nirleka) hingga hilangnya kedaulatan Cirebon dalam tahun 1681 (perjanjian dengan Kumpeni VOC mengenai hal itu dilakukan pada tanggal 7 Januari 1681).

Ada beberapa hal yang menarik, baik yang berkenaan masalah rucita maupun masalah kisah itu sendiri.

Dari segi rucita, misalnya, adalah cukup menarik karena naskah itu mengembarkan bahwa pada masa itu Panitia sudah merumuskan pembabakan sejarah Nusantara. Dalam sarga ‘bab’ pertama naskah Pustaka Rajakawasa i Bhumi Nusantara, yang merupakan parwa ‘jilid’ keempat naskah Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Panitia membagi kisah Nusantara ke dalam tiga yuga ‘jaman’, yaitu purwayuga ‘jaman awal’, rajakawasa yuga ‘jaman kekuasaan para raja’, dan duhkabharayuga ‘jaman kesengsaraan’. Purwayuga meliputi seluruh jaman nirleka, rajyakawasayuga mencakup kurun sejak adanya kerajaan di Nusantara hingga akhir kekuasaan Sultan Agung di Mataram (1645), dan duhkabharayuga mencakup masa sejak “si bule” turut campur dalam kekuasaan di Nusantara.

Mengenai kisah Nusantara yang disajikan dalam NPW, Panitia menampilkan beberapa hal yang menarik. Menurut pengamatan, ada empat “kebenaran” kisah Nusantara dalam naskah-naskah itu yang perlu dicatat, yaitu:

  1. “Kebenaran” dalam naskah yang seutuhnya sama dengan “kebenaran” kita selama ini sebagaimana nampak pada nama-nama tokoh dan daerah;
  2. “Kebenaran” dalam naskah yang belum menjadi milik kita, berupa nama-nama tokoh atau daerah yang belum pernah kita ketahui, berbagai peristiwa yang terjadi, dan masa pemerintahan setiap raja yang cukup jelas titimangsanya;
  3. “Kebenaran” naskah yang melalui pembandingan dengan sumber-sumber lain akan memungkinkan kita untuk merenungkan kebenarannya; dan
  4. “Kebenaran” dalam naskah yang berlainan dengan “kebenaran” kita sebagai panfsir (Ayatrohaedi 1989 : 16-7)

Sehubungan dengan kegiatan Panitia Wangsakerta menyusun kisah Nusantara, sampai saat ini belum pernah ditemukan sumber lain. Satu-satunya sumber yang ada mengenai kegiatan itu justru karyanya, yang antara lain juga membicarakan alasan, tujuan, dan kerja Panitia melaksanakan amanat Panembahan Girilaya itu. Itulah sebabnya, walau bagaimana pun, sangat diperlukan kehati-hatian dalam kita mengaji semua karyanya itu. Selain pengajian mengenai hal-hal yang berkenaan dengan isi karyanya, diperlukan pengujian jasadi terhadap naskah-naskahnya. Pengujian itu akan sangat besar manfaatnya, antaral ain untuk mengetahui apakah bahan (kertas, tinta), aksara, dan gaya bahasa yang digunakan benar-benar berasal dari masa yang bersangkutan atau bukan.

Hal lain adalah yang berkenaan dengan “musyawarah sejarah” yang diselenggarakan di Cirebon itu. Jika benar musyawarah itu pernah ada, kapankah kira-kira hal itu berlangsung? Dalam hal ini ada beberapa patokan yang dapat dijadikan pertimbangan, mengingat Wangsakerta sendiri tidak menyebutkan kapan kegiatan itu dilangsungkan.

Buku pertama dari semua rangkaian tulisan sejarahnya, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, selesai dipustakan pada tanggal 1 paroterang, bulan Srawana tahun 1599 Saka atau tanggal 25 Juni 1677. Itu berarti bahwa musyawarah itu harus sudah selesai dilaksanakan beberapa waktu sebelumnya. Jika kita perhatikan betapa banyaknya hasil musyawarah itu sebagaimana termuat dalam naskah-naskahnya, ditambah dengan masalah yang muncul selama waktu penyusunannya, mungkin sekali musyawarah itu berlangsung dalam triwulan pertama tahun 1677. Penulisan hasilnya hingga menjadi naskah memang baru dilakukan kemudian oleh para anggota jaksa pepitu; mungkin oleh Raksanagara dan Anggadiraksa yang menjadi penulis dan wakil penulis selama musyawarah berlangsung. Satu hal dapat dipastikan, menilik gaya tulisannya, naskah-naskah itu haruslah dikerjakan oleh lebih dari satu orang (Saleh Danasamita 1968 : 17).

Jika benar demikian, mungkin sekali musyawarah itu sudah dilangsungkan sebelum Pangeran Mertawijaya dan Kertawijaya dinobatkan sebagai pengganti Panembahan Girilaya menjadi penguasa Cirebon. Menurut kisah yang sudah dianggap benar hingga saat ini, setelah ayahnya meninggal, kedua pangeran itu tetap “tidak diijinkan pulang” oleh Sunan Amangkurat I. Mereka baru dapat meninggalkan Mataram setelah pasukan Trunajaya berhasil merebut Ibukota Karta dan membawa kedua pangeran tersebut ke Kediri. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 12 Juli 1677, dan para pangeran penguasa Cirebon itu diwisuda sebagai penguasa Cirebon oleh Sultan Ageng tirtayasa dari Banten.

Jika dugaan tentang waktu penyelenggaraan musyawarah itu benar (awal 1677), akan muncul masalah baru. Menurut Wangsakerta, Sultan Sepuh memberikan amanat waktu musyawarah itu berlangsung. Padahal, menurut perhitungan, ketika itu ia masih berada di Mataram. Dalam hal ini ada dua kemungkinan yang dapat dipertimbangkan: Pertama musyawarah itu telah berlangsung lama sebelum Trunajaya merebut ibukota Kartasura sehigga memungkinkan Pangeran Mertawijaya dan Kertawijaya “minta cuti” untuk pulang ke Cirebon, dan diperkenankan. Kedua, mungkin ia tetap berada di Karta, sedangkan amanatnya disampaikan oleh Wangsakerta (tertulis). Hal itu tidak mustahil. Mengingat hingga saat itu Wangsakerta sudah 17 tahun menjadi pelaksana pemerintahan sehari-hari, mewakili ayahnya selama 12 tahun (1650-62), dan mewakili kedua abangnya yang tetap ditahan di Mataram selama 5 tahun (1662-7). Dengan demikian, ia tidak canggung lagi bertindak, baik sebagai tuan rumah maupun sebagai wakil dari kedua orang abangnya (kys:19).

Masalah yang juga muncul sehubungan dengan musyawarah itu adalah yang menyangkut bahasa. Bahasa apakah yang digunakan sebagai bahasa pengantar atau bahasa resmi dalam pertemuan itu? Mungkin sekali dalam pertemuan itu digunakanlebih dari satu bahasa, mengingat ada diantara jaksa pepitu yang di kepanitiaan bertugas sebagai jurubahasa. Jika melihat daerah asal para peserta, nampaknya sangat mungkin bahasa pengantar yang digunakan sekurang-kurangnya ada dua, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Bahasa Jawa digunakan karena kegiatan itu dilangsungkan di salah satu pusat kebudayaan Jawa; bahasa Melayu digunakan karena bahasa itu menurut riwayatnya selam lama berfungsi sebagai basantara di kepulauan Nusantara. Namun, bagaimanapun, kajian lebih mendalam mengenai hal ini akan sangat membantu menjelaskan masalah.

Demikian perkenalan singkat yang dapat ditampilkan berkenaan dengan sumber tradisional sejarah sunda khususnya, dan Jawa Barat umumnya ini.

Depok, 09 September 1997

Rujukan

Aca (=atja)

1968 Tjarita Parahyangan: Titilar Karuhun Urang Sunda ti Abad Ka-16,

Bandung: Jajasan Kebudayaan Nusa larang

1970 Tjarita Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah

1973 Siksa Kandang Karesian. Bandung : Lembaga Kebudayaan UNPAD

1986 Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya sastra Sebagai Sumber

Pengetahuan Sejarah. Cetakan kedua (dengan perbaikan menyeluruh). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Aca dan Saleh Danasasmita

1981a Amanat dari Galunggung. Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong

Garut. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

1981b Sanghyang Siksakandang Karesian: Naskah sunda Kuna tahun 1518 Masehi.

Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Ayatrohaedi

1980 “Tradisi sastra Sunda Buhun”, dalam Meutia F. Swasono, Wardiningsih

soerjohardjo, dan Ayatrohaedi (redaksi), Yang Tersirat dan Tersurat: Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1940 – 1980: 143-52. Jakarta: Fakultas Sastra UI

1986 Serat Dewabuda. Laporan Hasil Penelitian untuk Proyek Penelitian

Kebudayaan Sunda. Tidak diterbitkan.

1987 “Kebenaran Sejara” Naskah-naskah Panitia Wangsakerta. Makalah

disampaikan pada Diskusi Ilmiah Keabsahan Naskah-naskah Sumber Sejarah

Tarumanagara, diselenggarakan oleh Universitas Tarumanagara,

Jakarta 17 September 1988.

1988 Naskah dan Sejarah. Makalah disampaikan pada Gotrasawala (=Seminar)

Pengajian Naskah-naskah Kuna Jawa Barat sebagai sumbangan Kepada

Sejarah Nasional, diselenggarakan oleh Universitas Pasundan, Bandung

23 Januari 1989.

1994 Jatiniskala: Pengantar, Alihaksara, dan Terjemahan Naskah K.422 Khazanah

Museum Nasional. Laporan Penelitian untuk Fakultas Sastra UI, Depok.

Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Ahmad Darsa

1987 Kawih Paningkes dan Jatiniskala. Laporan penelitian untuk Bagian Proyek

Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda, Bandung.

Edi S. Ekajati (=Ekadjati)

1982 Ceritera Dipati Ukur: Karya sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

Edi S. Ekajati (editor)

1988 Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian

Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation.

Edi S. Ekajati, Wahyu Wibisana, Ade Kosmaya Anggawisastra

1985 Naskah Sunda Lama Kelompok Babad. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa.

Holle, K.F.

1867 “Vlugtig berigt omtrent eenige lontar-handschriften afkomstig uit de

Soendalanden”, TBG 15

Husein Jayadiningrat (=Hoesein Djajadiningrat)

1965 “Local traditions and the Study of Indonesian History”, dalam Sujatmoko

(=Soedjatmoko), Mohammad ali, g.J. resink, dan G.McT. Kahin (eds),

An Introduction to Indonesian Historiography: 74-86. Ithaca-New York:

Cornell University Press.

Noorduyn, J

1971 “Traces of An Old Sundanse Ramayana Tradition”, dalam Indonesia

12: 151-7

Pleyte, C.M.

1911 “Het jaartal op den Batoe Toelis nabij Buitonzorg; Eene bijdrage tot de kennis

van het oude soenda”, TBG 53: 155-220.

Saleh Danasasmita

1986 Pangeran Wangsakerta sebagai Sejarawan Abad XVII. Makalah disampaikan

Pada Pertemuan Ilmiah tentang Kebudayaan sunda; diselenggarakan oleh

Bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda

Lembang 10 – 12 Maret 1986



MA'NA TEKNOLOGI

MA'NA TEKNOLOGI ALAT TINUN TRADISIONAL DINA SAWANGAN HIRUP URANG SUNDA

A. Pamuka

Kamekaran dina widang teknologi mangrupa hiji cara pikeun ngungkulan dina sagala widang. Ku ayana teknologi bisa ngungkulan dina sagala rupa anu dipikahayangna. Dina ngadugikeun sagala hal naon bae pikeun masyarakat, kamekaran teknologi mangaruhan pisan sangkan mudah tur praktis tepi ka tujuanna.

Sigana aya hal anu peryogi dina ngokolakeun teknologi sangkan bisa ngigelan jeung ngigelkeun jaman. Anu kahiji, hal ngaawaskeun prak-prakanana aturan (low enforcement), anu kadua, aturan anu ulah katinggaleun ku kamekaran teknologi; katilu, poma kudu ngaitkeun sareng pangaweruh jeung adat istiadat lokal (nilai-nilai lokal). Sabab dina kamekaran teknologi jembar pisan, dina makalah ngeunaan teknologi diwatesan nyoko kana Ma'na Teknologi Alat Tinun Tradisional Dina Sawangan Hirup urang Sunda.

B. Ma'na Alat Tinun Tradisional Dina Sawangan Hirup urang Sunda

Dina "Ilmu Kasajatian" para sesepuh Sunda aya istilah "ULAH INGKAH TINA KURUNGNA KURING" atawa "SAPANJANG NEANGAN KIDUL KALER DEUI - KALER DEUI". singgetna yen sagala hal nu aya di luareun diri bakal dibere hartina jeung dimaknaan salaku acuan sawangan hirup, jadi mere mangpaat anu ngabogaaan tujuan anu sifatna lahir atawa batin ieu mangrupa salah sahiji tanda " kearifan" tradisional (Indigenous Wisdom)..

Dina enas-enasna mah loba pisan ritual kabudayaan anu bere ma'na husus pikeun dijadiekun sarana dina maluruh arah pamikiran urang sunda. Dina ngalakonan pikeun hirup ngumbara di alam dunya " meniti " RAWAYAN JATI (Shirath, Perennial, Brahman, Tao, Sangkan Paraning Dumadhi, Al Hikmah al-Muta'aliyah, Jawidan Khirad).

Sababaraha kaulinan atawa kagiatan anu ngandung ma'na salaku sarana swangan hirup urang sunda diantarana bisa dikaji ngaliwatan " NINUN (nenun tradisional), LANGLAYANGAN, PAPANAHAN, NGUSEUP GONDANG, NGAHUMA, NYADAP KAWUNG, MANDAY.

Kamajuan jaman dina mangsa kiwari anu sarat ma'na ieu, dina era industrialisasi geus tilem ku gumuruh na sora mesin jeung kasibukan manusa hedonishis. Pakaitna dunya luar jeung dunya jeroeunna renggang. kaparigelan dina nimbulkeun rasa empati ka alam anu matak mangaruhan kana kamekaran peradaban manusa. Ayeuna manusa geus jadi makhluk nu individu jeung "teralierasi " ti habitat sakurilingna.

Di handap ieu dipedar sababaraha pakakas anu biasa digunakeun pikeun ninun atawa sagala hal au aya pakaitna jeung ninun. Ma'na anu aya dina jerona ngabogaan sumber sababraha informan R Oesman Sadli Sumadisastra anu nalungtik elmu kasundaan (wafat dina taun 1961), Aki Wira (Alm) salasahiji sesepuh di Majalaya (sentra Industri tinun), Bapa Djajasoepena, (alm) anggota awak-awak galih pakuan. Anapon ngeunaan anu aya palasifah jeung makna teknologi alat tinun tradisional anu miboga kabudayaan kana pangaruh kamekeran peradaban manusa urang sunda nyaeta:

1. Asiwung: kapas, bahan pikeun nyieun kanteh. Makna anu nyangkaruk wirehna esensi diri manusa asal muasalna tina dzat anu beresih suci. nalika kapas beres ditinun anu dijeun jadi salembar bo'eh( kain kapan ), penanda kembali lagi ke "kesucian". kapas anu digunakeun pikeun jalma anu maot disebut juga asiwung. Dina idiomatik Sunda " Congo nyurup dina puhu. Ti suci mulih ka suci. Mulih ka jati mulang ka Asal."

2. Barera : sapotong kai anu dijadikeun alat tinun pikeun ngarapetkun bola sangkan bola eta teh jadi kaen tinun anu rapet. Makna anu aya dina Barera nyaeta kamampuh pikeun ngalakukeun taubat sangkan dihampura kana sagala kalepatan anu geus dilakonan. Idiomatika dina basa sunda sok disebut " Mupus tapak".

3. Caor : sapatong papan anu di tendeun sacara horisontal, salaku senderan panggung penenun anu digunakeun pikeun narik kaen tinunan sangkan manteng eta boal kaen teh. Maknana salaku syariat hirup tempat nyalindung, kana kabiasaan rengkah paripolah dina sapopoe anu hade. Idiomatika dina basa sunda" Sarigig kudu kaciri, sarengkak kudu katara".

4. Dadampar : potongan papan anu digunakeun pikeun tempat diuk tukang tinun. Makna salaku keteguhan Iman ka Gusti anu Maha suci. Idiomatika basa sunda " Henteu unggut kalinduan henteu gedag kaanginan.

5. Galegar : Sapotong papan/kai, gunana pikeun nguatkeun alat tinun. makna salaku kateguhan hate. Idiomatika dina basa sunda " Sangreud pageuh, sagolek pangkek".

6. Gedogan : sapotong kai atawa papan anu gunana piken nahan dina proses nenun. Maknana wirehna jasad manusa kudu sautuhna. Dina babasan basa sunda " Ti luhur sausap rambut ti handap sahibas dampal".

7. Hapit : papan/kai pikeun ngagulung kaen hasil tina tinun. Makna wirehna manusa kudu ngalaksanakeun amal ibadah dina kumelendang di alam dunya. Amal anu hade hasilna oge hade, pagawean anu henteu luyu jeung papagon tangtu meunang balukarna. Babasan dina basa sunda " Melak cabe moal jadi bonteng, melak hade moal jadi goreng".

8. Jingjingan : bagean tina gedogan, tempat menambatkan lusi. Maknana kamampu pikeun berkontemplasi, tafakur kana kakawasaan Alloh SWT. Idiomatika dina basa sunda " Maca Ugana Waruga, nyaliksik diri pribadi, nyasaran lampah sorangan".

9. Kanteh : bola benang anu dipake nenun, biasana nenun asalna tina sari kapas. Maknana asal muasalna manusa digubarkeun ka alam dunya dugi mulih ka jati mulang ka alam padang poe panjang.Idiomatika sunda " Ti wiwit mula ngajadi, Lumenting ti silihwangi lumentang ka pajajaran. Moal aya dina dahan mun taya catang, moal aya catang mun taya tunggul".

10. Kincir (palet) : alat pikeun mintal benang kanteh. dimaknai sabge kagiatan anu ngamamfaatkeun waktu anu maneh. Maknana sabage kamampu pikeun ngagunkeun akal pikir anu wijaksana. Dina Basa sunda " Kudu asak jeujeuhan matang tinimbangan".

11. Lusi : benang kanteh anu nganteng tina arah suku ka arah tempat tinunan. Makna sabage gurata nasib anu geus ditulis tina alam azali. idiomatika basa Sunda " Titis tulis ti ajali, kadar awak tikudratna".

12. Pakan : benang kanteh anu nganteng tina arah kenca ka arah kiwa penenun. Maknana kagiatan amal ibadah anu dilakonan salila kumelendang di alam dunya teh kudu proaktif. Dina Basa Sunda " Gawe rancage" atawa SONAGAR ( soson-soson nangkes gawe rancage).

13. Pihane : alat pikeun mereskeun benang kanteh. Maknana pikeun ngajaga diri. Idiomatika basa Sunda " Sarigig kudu jeung harti, sarengkak kudu waspada".

14. Raraga : wangun tinunan anu sapuratina. Maknana sabage jagat raya. Idiomatika basa Sunda " Sagebarna buana panca tengah".

15. Rorogan : sapotong kai alat pikeun nahan berera. anu tempatna beulah kenca tinunan. Maknana sabage naha cocoba ku kasabaran nalika nyanghareupan gogoda. Dina basa Sunda " Asak tinggur,kaut tepa".

16. Seungkeur : Sapotong papan / kai pikeun nagtukeun ukuran lebar kaen anu ditinun. Makna sebage kamampu dina etika,anu henteu kaleuleuwihan. Dina babasan Sunda " Tata titi duduga prayoga, nasiti tur ati-ati".

17. Suri : alat anu wangunna teh ngaharib-harib pameres (sisir) anu gunana pikeun mereskeun benang pakan jeung benang lusi. Maknana teh kudu ati-ati dina mikir, nyarita jeung paripolahna. Idiomatika dina basa Sunda " Nyaur kudu diukur -ukur, nyabda kudu diugang-ugang".

18. Tali caor : tali anu dikaitkeun kana bilah caor jeung kaen anu ditinun dibelah katuhu jeung kenca penenun. Maknana yen dina kahirupan teu meunang karep sorongan, kudu nyoko kana norma-norma kahirupan anu geus ditangtukeun. Idiomatika basa sunda " Ulah tunggul dirarud catang dirumpak".

19. Tameuh : beubeur tameh, sahelai kaen anu ditinun tina sesa-sesa benang kanteh anu di piceun. dugunakeun sabage simbol alat pakait jodo di dua kulawarga. Maknana sabage kamampu pikeun nangtukeun pola hirup hemat jeung mampu nyambungkeun silaturahmi jeung nu lian. Idiomatika basa sunda " Bisa ngeureut bisa nendeun ".

20. Toropong : sapotong awi tamiang, tempat pikeun ngasupkeun benang kanteh (pakan). Kamampu pikeun oto kritik ngoreksi diri sorangan jeung mampu pikeun mere prediksi kana kahirupan anu geus kasorang. Dina basa sunda " Nyaliksisk diri ngotektak awak, ngenteungan badan sakujur".

21. Tunjangan, titihan, totojer : sapotong kai tempat alat tinun. maknana sabage pancegna i'tikad. Idiomatika basa sunda " teguh tangtungan, panceg pamadegan, henteu owah gingsir, henteu galider bengbatan".

22. Tudingan (tutuding ) sapotong kai/awi pikeun alat ngaitkeun, nyokot jeung ngomekeun naon bae anu jauh tina tina penenun. Maknana yen elmu pangaweruh anu bisa mampu mere solusi tina pasulan-pasualan nu nyampak. Idiomatika basa Sunda " Luhung elmu jembar panalar, henteu heureut ku sateukteuk, henteu pugag ku salengkah.

Alat-lat tinun tradisional numutkeun sawangan hirup urang sunda anu dipedar tadi teh sakabeh eta miboga benda-benda anu sakral, anu teu meunang dilengkahan. Lamun ngabandingkeun tina upacara Nincak Endog, nalika nikahkeun ku upacara adat sunda somodel barera ( alat tinun anu disakralkeun) sok dilengkahan atawa ditincak, hal ieu makna teh lamun geus jadi " Tali rarabi " kasucian jeung kahormatan awewe anu tadina dijaga, geus jadi " halal/muhrim " pikeun salakina.

C. Panutup

Bisa dicindeukeun yén ngeunaan dina ngagunakeun teknologi mangrupa gerakan pikeun ngungkulan pasualan-pasualan anu tumiba ka lingkungan jeung masyarakatna. Ku ayana tilu hal anu peryogi dina ngokolakeun teknologi sangkan bisa ngigelan jeung ngigelkeun jaman. Anu kahiji, hal ngaawaskeun prak-prakanana aturan (low enforcement),. anu kadua, aturan anu ulah katinggaleun ku kamekaran teknologi; katilu, poma kudu ngaitkeun sareng pangaweruh jeung adat istiadat lokal (nilai-nilai lokal)

Tilu hal eta téh lumaku keur sakumna widang kamasarakatan. Nu jadi poko dina ieu gerakan téh nya éta masarakat sunda ngabiasakeun ngamamfaatkeun teknologi. Ieu hal maksudna, nya éta urang sunda bisa nyumponan harepan jeung udagan, anu bisa ngungkulan éta pasualan.

BIANTARA BASA SUNDA

PERLUNA GAWÉ BARENG PAMARÉNTAH JEUNG MASYARAKAT DINA NGAWUJUDKEUN WAJAR 9 TAUN

اِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِىاللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَلَهُ، أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِىَّ بَعْدَهُ، اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَهُ.




Saba’da manjatkeun puji syukur ka hadirot Alloh Swt sareng solawat miwah salam pikeun Kangjeng Nabi Muhammad Saw ka-tut ka kulawarga, para sohabat sareng sakumna umat anu satia ka Anjeuna; mangga urang sami-sami ngantebkeun katakwaan ka Alloh Swt sabage sarat mutlak pikeun ngahontal kamulyaan sareng kabagjaan di sisi Mantena.

Alhamdulilah dina ayeuna urang tiasa gingsir linggih, nawiskeun diri ka asih pada rawuh lunturna kolbu dina raraga milarian karidoan Alloh SWT.

Dewan pangajen anu ku simkuring dipikahormat sareng para hadirin anu sami-sami rawuh dina kasempetan ieu simkuring baris ngadugikeun eusi pidato ngeunaan “Perluna gawé bareng pamaréntah jeung Masayarakat dina ngawujudkeun wajar 9 taun”.

Kapungkur mah ti nagri jiran téh loba mibanda élmu ka Indonesia, tapi kiwari mah tibalik, urang Indonesia nimbu élmu ka nagri jiran, lain kitu wungkul tapi Indonesia téh kakoncara, ku negri TKW. Hal ieu téh cukang lantaranana nya éta salah sahijina kualitas atikan di Indonesia téh kawilang handap, anu kaseuseuranana lulusan SD.

Kulantaran kitu, luyu pisan cita-cita pamaréntah Jawa Barat anu ngalangkungan program akselerasi pangwangunan Jawa Barat dina widang atikan nya éta wajar 9 taun kedah rengsé taun 2010. Program ieu téh moal sukses lamun teu aya rojongan tur gawé bareng antawis pamaréntah jeung masyarakat.

Pamaréntah kudu soson-soson tur daria dina ngagarap program wajar 9 taun, anu dirojong ku dana 20% tina anggaran APBN jeung APBD. Ku kituna perlu pisan ayana rojongan ti pihak pamaréntah jeung masyarakat dina ngaronjatkeun wajar 9 taun sangkan kualitas atikan di Indonesia tiasa ngangkat harkat jeung darajat bangsa.

Malah dina ajaran agama, Alloh tos ngawajibkeun nyiar élmu pangaweruh diantawisna dina Qs. Al- Mujadilah ayat 11 anu unina nya éta:




“ Allah SWT pasti bakal ngangkat darajat jalma anu ariman jeung anu ngabogaan élmu sababaraha darajat” ( Al Mujadilah : 11)

Dina hadist ogé nétélakeun yén nyiar élmu téh teu cukup nepi ka tamat SD tapi Nyiar élmu téh ti mimiti gubrag nepi ka tilar dunya. Kangjeng Rosululloh Saw ngadawuh:

“ Teangan élmu ti lahir nepi ka maotna”

Tina éta ayat Al Qur'an sareng hadist nétélakeun pentingna dina nyuprih élmu sangkan jalma bisa ngahontal dina ngajurung laku patékadan. Ku kituna éta program pamaréntah téh sakali deui bisa diwujudkeun lamun ayana gawé bareng pamaréntah jeung masyarakat.

Kumargi kitu hayu urang babarengan nyiar élmu tina luang, dina daluang jeung ti papada urang pikeun ngarojong lumangsungna program pamaréntah.

Sateuacan nutup biantara ieu simkuring badé ngadugikeun sisindiran anu unggeulna kieu:

Meuli hurang di Sukamaju

Endog wajar ti Alun-alun

Lamun urang hayang maju

Dukung wajar 9 taun

Sakitu nu kapihatur, bobo sapanon carang sapakan, langkung saur bahe carek neda agung cukup lumur neda jembar singhaksami.

Billahi taufiq wal hidayah,

Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.

KALANGENAN

Manusa Salaku Mandat Kultural Lingkunganana

Kahirupan manusa moal leupas tina alam sabudeureunana. manusa miboga akal pikeun ngabedakeun jeung mahkluk nu lianna. Ku ayana budi akal manusa matak ngahudangkeun kana kamekaran sosiokultural pikeun mulasara jeung ngolah kana lingkungan alam sabudeureunna ( Sastrosupeno, 1984 ). Ku ayana sosiobudaya kultural bisa mekarkeun kana sistem pakasaban, teknologi jeung kana sistem kagiatan-kagiatan anu sifatna ritualistik. Negara Indonesia mangrupa hiji nagara anu euyeb tina sasatoan, tapi dina mangsa kiwari kaaayan ngeunaaan sasatoan nu aya di Indonesia geus hariwang tina hirup kumbuhna eta sasatoan di alam sabudeureunna. Dina kaayaan samodel kitu pamarentah geus ngaluarkeun kawijakan ngeunaaan pikeun ngamumule jeung miara sato anu geus langka aya hirupna. Aya sababaraha faktor anu mangaruhan kana langkana hirup sasatoan nya eta :

· ayana gerakan anu sifatna ekonomis anu miboga tujuan pikeun neangan kauntungan dina nyumponan pangabutuh materialna.

· ayana gerakan anu sifatna psikologis anu miboga tujuan pikeun neangan kauntungan nyumponan pangabutuh batiniahna.

· ayana gerakan ajen sosio-kultural anu miboga ajen kasangtukang dina mangsa katukangna.

Ku ayana gerakan eta bisa ngawujud kana kontinuitas jeung diskontinuitas historis ( Nawiyato, 1995 ).

"Kalangenan" : Mangrupa Hiji Mitos

Hiji objek bisa dijadikeun hiji runtuyan kana sajarah atawa peristiwa dina galuring kahirupan anu geus mangsa kaliwat. Dina mangsa nu rek nyorang biasana moal leupas tina kila-kila, totonden jeung tangara. Salah sahiji ciciren manusa biasana sok ninggali atawa ngama'naan dina mangsa anu geus kaliwat diteruskeun baris nempatkeun diri dina mangsa bakal rek disorang. Mangsa kiwari jeung mangsa arek disorang mangrupa hiji galuring dina kahirupan anu disebut network of event ( Daeng, 1991 ).

Kalangenan dina makna arti leksikal ( KUBS, 1980 ) nya eta kesenangan (hobi) yang membuat hati jadi senang atau bahagia. Jalma menak dina mangsa baheula miboga kabiasaan sok ngalakukeun bubujeng, munday, mentangkeun jamparing jeung nayuban.

Kalangenan bubujeng raja jeung para menak dina paninggaran biasana sok nggagunakeun tombak jeung panah. Nyoko kana historis diakronis ngeunaan kalangenan sasatoan anu langka, dikasangtukangan ku ayana kabiasaan bubujeng di para elit tradisional khususna raja jeung para menak. Anapon sasatoan anu dipiara pikeun kalangenan nyaeta : kuda, manuk prukutut, gajah, kijang, maung, beruang, kerbau jeung nu lianna. Sartono kartodirdjo dina Nawiyato (1995) kaasup sasatoan anu dipiara dina kalangenan nya eta : memerang, senuk, ardawalika, gajah kidang jeung garuda.

Ku ayana budaya kalangenan sasatoan bisa diklasifikasikeun ku cara fisik jeung karakteristik tina sato-sato nu lianna, utamana kuda jeung manuk anu sok disebut caturangga. Ngeunaan caturangga hartina katuranggaan, asal tina turanggga artina kuda. Kuda nu aya uir-uir (kukulinciran ) miboga magis atawa mistis anu bakal ngadatangkeun kaberkahan jeung kauntungan pikeun anu miarana. Istilah caturangga dispesipikasikeun ngeunaan sifat hade gorengna kana kuda anu baris dipiara. Numutkeun Sastjadibrata ( 1957:429 ) caturangga miboga harti sistem pangaweruh ngeunaan ciri-ciri lahiriah anu bisa ngagambarkeun hade gorengna watek sato anu baris dipiara.patalina jeung kontéks sosiokultural mitis-magis boga anggapan yén miara gajah (satwa kalangenan) mangrupa salahsahiji kasaktén anu gedé pisan pangaruhna kana kalungguhan jeung komara éta raja. Nurutkeun B. Anderson dina seuhseuhanana tradisi pikiran politik Jawa (Sunda) kacida muhit jeung mentingkeunana kana kamampuh museurkeun kasaktén. Tah lebah miara satwa di lingkungan karaton/karajaan, dianggap bisa népakeun karakter nu sarua ka raja. Miara gajah (salaku mitos) dipercaya bisa ngalambangkeun kaagungan, kakuatan sarta kasaktén éta raja/sultan.

Hubungan mitis jeung magis ngeunaan kalangenan, raja anu miboga piaraan sato anu loba tangtu pangaruh kakawasaan raja bakal nangtukeun dina hadena mingpinna. Jadi anggapan para raja ngeunaan budaya kalangenan miboga kakuatan sakti.

Ku ayana mitos manusa miboaga kapercayaan yen budaya kalangenan bisa mangarahuan kana alam kahirupan manusa. Hal eta dina mere sato kalangenan dina konsep budaya jawa sok dibere ngaran kyai atawa nyai. Ngeunaan ngaran eta wirehna sato kalangenan disaruakeun jeung pusaka karajaan anu miboga daya kasakten pikeun raja.

Budaya Kalangenan Dina Mangsa Kiwari

Budaya miara sato kalangenan miboga sajarah kasangtukang jeung ajen anu bisa hirup tur mekar dumasar kana kamekaran jaman. Dina mangsa kiwari kalangenan mekar ka para birokrat, pejabat jeung kalangan anu miboga duit loba. Anapon sato anu dipiara tur dipapayungan ku hukum Undang-undang nyaeta sato kana spesies manuk jeung dua monyet (pongo pygmaeus).

Kamekaran dina miara kalangenan sok disalah gunakeun ku jalma-jalma anu teu miboga tanggung jawab. Ku jalma samodel kitu maranehna mah mung neangan kauntungan anu sagede-gedana pikeun neangan material. Fenomena anu nyampak dina mangsa kiwari, manusa geus balik kana jaman baheula anu diwujudkeun kana aspek nilai jeung budaya. Ku ayana aspek ajen jeung budaya baheula wirehna jalma berkompetensi pikeun miboga lambang-lambang atawa simbol simbol modernitas budaya pikeun ngaronjatkeun prestise startifikasi sosialna. Ku ayana modernitas budaya miboga implikasi sosial anu leuwih jero.

Simbol jeung modernitas dina awalna mah ku ayana barang jeung jasa anu diproduksi industri modern nyaeta ; barang-barang elektrik, mobil alus, komputer jeung imah-imah anu hade. Nalika jalma geus miboga barang-barang samodel kitu, manehna mikir kudu miboga lambang-lambang anu leuwih ekslusif, biasana lambang-lambang tradisonal sabage tanda Offluance. Numutkeun Kuntowijoyo (1987 ) disebut gejala retradisionalisasi. Ku kituna budaya dina miara sato kalangenan mangrupa salah sahiji wujud kongkret gejala retradisionalisasi.

Kamekaran dina budaya kalangenan dina mangsa baheula miboga sifat anu mitis jeung magis ari dina mangsa kiwari mah budaya kalenganan teh sifatna pikeun sosiologis. ku ayana robahna makna eta ditilik tina perspektif kontinuitas sajarah anu mangrupa robahna fungsi budaya miara sato kalangenan tina sifat mitis-magis kana sifat magis sosial.

Pikeun nangtukeun dina kamekaran peradaban manusa kudu nyoko kana lambang budaya modernitas. Ku ayana lambang modernitas jeung miara sato kalangenan mangrupa hiji lengkah dina prestise pikeun ngamumule tur miara kana sato jeung lingkunganna.

SITUASI PAMACA DINA NOVEL GALURING GENDING

SITUASI PAMACA DINA NOVEL GALURING GENDING

KARYA TATANG SUMARSONO

A. Sinopsis Novel Galuring Gending

Dina Galuring Gending karya Tatang Sumarsono anu kandelna teh 336 halaman. Diterbitkeun ku PT Kiblat Buku Utama. Ditilik tina segi cover novel galuring gending aya wanoja anu keur ngibing ngajentrekeun eta teh mere ilustrasi wirehna eusi anu aya dina novel galuring gending teh ngeunaan hiji wanoja anu miboga karancagean dina seni ibing tur mere gambaran nu diangkat tina kahirupan aktual. Dina segi eusi ngagunakeun basa sunda anu matak ngeunah pikeun anu macana. Anapon Sinopsis Novel galuring Gending nayeta:

Panji teh jalma anu asalna ti lembur, nyuprih elmu di kota Bandung. Ti barang lahir Panji geus cicing jeung indung terena. Bapana Panji teh saurang pangsiunan tentara anu satuluyna jeneng jadi Kuwu salila dua entragan. Kulawarga Panji rnangrupa kulawarga gede anu asalna ti sababaraha bibit. Lanceukna nya eta Ceu Cacih, Kang Parman, Ceu Idah, jeung Kang Obing putra ti Mimih sarta Kang Girang jeung Ceu Nunung Putra ti nu lian. Sedengkeun Panji, budak bungsu anu indungna matuh di peuntas.

Sarah, wanoja kota turunan anak menak, ti leuleutik geus diajar ngibing nepi ka asup sanggar sagala. Nya tina ieu dunya Sarah meunangkeun kasenangan dunya. Hiji poe kasenangan dunya ieu teh kudu ditebus ku harga anu pangmahalna.pikeun hiji wanoja. Um Sar, guruna di sanggar, geus ngaruksak harga dirina. Ti dieu Sarah mimiti wanoh kana dunya lalaki jeung materi. Satuluyna Sarah reureujeungan jeung salasaurang pajabat di hiji instansi penting di nagri ieu. Kahirupan Sarah sarwa cukup jeung sarwa genah, nepi ka hiji waktu aya anu ngendag-ngendag kana kabagjaan anu

dirasakeun ku Sarah.

Hiji peuting Sarah diparengkeun panggih jeung Panji dina kaayaan mabok. Satuluyna Sarah dibawa ka kontrakan Panji. Nya ti dieu duanana mimiti raket. Panji hiji aktivis proreformasi anu teu panuju kana pamarentahan Ordeu Baru. Nya pamadeganana ieu anu nganteurkeun manehna kana pangberokan. Di tahan Panji nepikeun kahayangna pikeun ngawin Sarah, tapi Sarah can bisa mere respon kana ieu pangajak. Sanggeus Panji kaluar ti tahanan, manehna kudu nungguan Sarah di rumah sakit, tapi angger pangajak Panji tacan meunang jawaban. Nepi ka ahirna Panji leungit tanpa raratan samulangna nungguan Sarah di rumah sakit.

B. Situasi Pamaca Dina Novel Galuring Gending

Manahoreng nu ngaranna rasa resep teh geuning gaib. Teu katenjo tapi karasa ayana jeroeun dada. Teuing ti iraha nyiliwurina, ujug-ujug geus ngancik na ati. Dina ati ge teuing lebah manana, da puguh gaib tea. Manahoreng rasa resep teh upama diipuk jeung digemuk mah kumaha we tutuwuhan, akar-akaran, sisirungan, dadaunan, kekembangan, bubuahan barijil sorangan.

Sabenerna mindeng ngalaman mikaresep kana hiji objek teh. Tara ieuh dipikiran sabab musababna, da atuh lumrah nu kitu mah. Manusiawi cenah geuning. Naha ari ayeuna, eta rasa teh mangaruhan pisan kana pipikiran. Make jeung uleng deuih mikiran ti mana jeung ti iraha eta rasa euntreup na lolongkrang hate kuring .

Tapi naha salah upama kuring resep ka hasil karyana? mana kitu ge manehna teh loba daya tarikna. Ti mimiti teknik jeung gaya nulisna anu boga ciri mandiri, ebreh dina karyana hususna dina novel Galuring Gending . Umumna sakur pamaca maneuh karya sastra anu geus apal kana gaya nulis unggal pangarang, samemeh maca hiji karya sastra teh, anu pangheulana dititenan nya eta saha pangarangna. Nurutkeun pangalaman, karya pangarang moyan mah sok nyugemakeun pamaca, sanajan henteu mutlak kitu. Anu dilakukeun ku sim kuring ge nya kitu pisan, basa mimiti maca novel nu judulna Galuring Gending meunang Tatang Sumarsono Ieu tulisan, oge lain rek masualkeun kualitasna., tapi nu perlu digurat handap dina karya anu mibanda ajen sastra mah nya eta unsur kajujuran jeung kaiklasan nu nulisna. Dina proses nyiptana ulah kawas nyieun karajinan tangan bae, ceuk Ajip Rosidi tea mah. Geus nyaho saha nu ngarangna mah deker bae dihanca, sabab geus apal kumaha ni’matna maca tulisan Tatang Sumarsono. Geus pasti urang bakal diajak mikiran kahirupan atawa pamaca diajak leuwih ngarti tur anclub kana alur runtuyan carita eta.

Pikeun leuwih jentre naon bae anu karasa dina situasi pamaca kana Novel Galuring Gending bisa dipaluruh kana sabagian unsur-unsur karyana nya eta :

1. Situasi Pamaca KanaTokoh Panji

Tokoh Mangrupa hiji palaku dina alur runtuyan hiji carita. Tokoh Panji mangrupa tokoh sentral dina carita, ditilik tina kuantitasna jeung kualitasna dina runtuyan carita. Panji ngabogaan ngaran Panji Sumirat anu bisa katiten tina cutatan ieu di handap.

Dina jilid buku nu ngagoler luhureun meja aya tulisan: Panji Sumirat, SIP. Naon ari anu dimaksud SIP teh ? Jigana mah gelar sabab aya poto anjeun keur diwisuda. (kaca 144 )

Bapa Panji teh tentara anu geus ngalaman sababaraha kajadian anu tumiba dina Nagara mangsa harita. Ti barang lahir Panji geus dirorok ku indung terena anu biasa digeroan Mimih ku manehna. Di imana, Panji mangrupa budak bungsu. Bapa anu bisa digeroan Apa ku Panji boga anak tilu bibit Nya Indung Panji anu pangpandeurina. Panji didik ku Bapana sacara keras ku bapana anu sakumaha yen Panji diajar sangkan bisa miboga rasa tanggung jawab kana dirina.

Kahirupan Panji loba dibeakeun di pilemburan, ku kituna Panji mangrupa dedeg anu kaitung basajan najan henteu bisa disebut kurang. Ieu gambaran kahirupan Panji teh katiten tina cutatan ieu di handap.

Lumayan rada jauh lembur peuntas teh, da perenahna ampir di wates desa.

( kaca 101)

Sanajan Panji teh urang lembur manyang-munyung tapi kahayang pikeun ngabogaan elmu pangaweruh, luhur pisan. Jadi satamatna SMA, Panji neruskeun ka paguron luhur di Bandunng nepi ka meunang gelar sarjana. Sabada lulus ti paguraon luhur Panji can meunang pagawean anu antukna Panji sok tulas tulis ngeunaan naon bae anu kapanggih jeung gagasan anu aya dina sabudeureun kahirupan. Salain ti nulis ti mimiti kuliah Panji ngabogaan kasibukan sejen disababaraha organisasi najan organisasi anu diiluan ku manehna teh jauh tina naon anu ditulisna dina media citak. Kusabab manehna aktivis kungsi manehna ditewak ku pulisi saba dianggap ngarongrong kana kadaluatan nagara.

Naha pangna tepi ka ditahan, pikeun manehna mah teu matak kaget. Enya kapan bieu ge geus disebutkeun, sual eta mah geus kaasup kana itungan manehna. Teu ngarasa diteungteuingeun, jajauheun mun digebruskeun ku batur. Ieu mah resiko sorangan anu miboga teu kapanujuan kana pamadegan anu teu sajalan kana konstitusi. (kaca 245 )

Nepi ka hiji poe, Panji leungit tanpa raratan.

Panji ari anjeun aya di mana ? ( kaca 334 )

Dina tokoh Panji teh hiji jalma anu soson- soson anu nyuprih kahayang pikeun ngahontal kana tujuan, sok sanajan naon wae akibatna tumiba ka manehna.

2. Situasi Pamaca KanaTokoh Sarah

Sarah tokoh wanoja anu dina carita jadi pameungkeut hate Panji, mangrupa gambaran wanoja anu lahir jeung gede di kota Bandung. Ti leuletik Sarah hirupna di kota. Sarah ani ngabogaan ngaran lengkep Sarah Wulandarikusumah geus diajar ngibing ku Bapana anu turunan menak. Diantara lima dulur nya ukur Sarah anu miboga bakat ngibing mah.

Sanajan turunan menak, henteu ngajadikeun Sarah ngarasa agul. Kalah sabalikna, Sarah ngarasa yen kamenakan geus ngaraheutan lengkah dina sagala hal. Nalika Sarah nincak dina bangku kelas opat SD, manehna mimiti unggah panggung ngibing satuluyna asup Sarah asup ka anggar anu dipingpin ku Um Sarino, babaturan bapana. Ti harita Sarah anu can nincak umur salikur mimiti caang bentangna, komo sanggeus Um Sar dipromosikeun jabatanana. Kajongjonan manggung, sakola Sarah katinggaleun, statusna SMA, Sarah teu kaburu nerusnkeun ka paguron luhur. Tungtungna panggunng mangrupa dunya anu dipilih ku sarah, dunya anu geus bisa ngahirup-hirupkeun kulawargana.

Nepi kahiji waktu Sarah ngaleupaskeun hal anu kacida pentingan pikeun wanoja pikeun nebus sagala kasohoranana, anu nurutkeun manehna mangrupa konsekwensi tina gumebyarna kahirupan panggung.

Kitu anu karandapan ku kuring Sarah tea. Mayungna ngaran dina akhirna kudu nyumponan kana pangabutuh Um Sar. Enya nyumponan kayahang anu jadi lalaki, anu saenyana geus diteundeun dina tempat istimewa minangka gaganti bapana. ( kaca 78 )

Ti semet harita Sarah anclub kana dunya anu jauh tina papagon agama anu patunggang tonggong jeung agama nepi ka manehna panggih jeung lalaki anu satuluyna ngarojong kana kahirupan ekonomi kulawargana.

Dina tokoh Sarah teh hiji gambaran wirehna sagala rupa rengkah palipolah anu teu dibarengan ku tata aturan agama bakal mengpar tur ahirna bakal nyangsarakeun kana dirina jeung kulawargana.

3. Situasi Pamaca Kana Pangarang

Dina Galuring Gending karya Tatang Sumarsono, katangen yen pangarang ieu novel teh ancrub kana kahirupan. Gagasan anu diangkat tina kahirupan aktual teh diolah ku parabot novel, terus disusun dina hiji pidangan novel anu karasa nyari. Katangen aya studi antropologis jeung psikologis anu dilakukeun ku pangarang.

Tatang Sumarsono, ngaran aslina ti saprak lahir, Tatang Sumarsono biasana sok digeroan Endang ku nu jadi kolotna. nenehna eta teh. ti leuletik matuh jeung akina sabab indung jeung bapana pepegatan basa manehna mimiti deukeut jeung Ua ti pihak indung. Akina ti pihak asalna ti pekalongan, jawa tengah. Nya akina anu mere ngaran Sumarsono teh. nincak bangku SD mimti timbul kahayang pikeun nambahan ngaran saeutik, jadi Tatang Sumarsono, tanpa ngabogaan maksud anu tangtu.

Tatang ka asup jalma anu aktif dina sagala widang, ti mimiti SMA, Tatang geus aktif dina organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dina taun 70-an., malah kungsi jadi pangurus di wilayah Jawa Barat. Di PWI oge Tatang Sumarsono salaku anggota. Salian ti eta oge Tatang Sumarsono oge kungsi jadi anggota KKI jeung PI sanajan teu junun. Disababaraha perguruan pencak silat Tatang jadi anggota kehormatan, diantarana wae di Mande Raga jeung di Layang Sunda.

Mangsa jadi mahasiswa, Tatang kungsi jadi aktifis kampus. Nya eta di senat ti mimiti tingkat I salaku sekretaris anu satuluyna di black list- ku pangawasa sabab aktifisna dina gerakan kamahasiswaan taun 1977/1978 anu mangpang kana pamarentahan rezim ordeu baru. Tatang Sumarsono tungtungna milih kagiatan ngarang salaku jalan kahirupan.

C. Kacindekan

Sabada maca kana hasil karya sastra meunang Tatang Sumarsono karasa pisan meunang mangaruhan kana pikiran wirehna eta karya sastra pikeun ngingeutkeun kana nu macana dina kahirupan sapopoe. Ngeunaan ajen novel eta, geus teu kudu dipadungdengkeun deui. Moal tepi ka mindeng nyabet hadiah sastra upama diri pangarangna henteu mibanda sikep daria icikibung dina dunya sastra. anu meh taya bedana.

Dina kamekaranana, novel Sunda kungsi jadi kacapangan masarakat pilemburan. Malah bangun anu hanjelu, lamun henteu maca teh. Teu beda jeung ngahanca sinetron atawa telenovela. Bisa jadi, tina ngadengekeun oge bisa kitu, kabeungharan basa Sunda hususna pikeun barudak jadi nambahan. Lain saukur ngabandungan lalakon nu matak pogot. Leuwihna ti kitu, aya atikan moral anu deukeut jeung budaya Sunda. Sabab dina seuhseuhanana mah, carita novel oge mere ajen-inajen kamanusaan, tina perkara salah jeung bener.

Novel Sunda oge bisa dimangpaatkeun pikeun media atikan. Da apan dina enas-enasna mah, pangarang ngajak kana bebeneran, tumut tuhu kana papagon anu teu patunggang tonggong jeung ajaran agama (Islam). Atuh pikeun pangarangna, meujeuhna dibageakeun. Sumangetna, kreatifitasna, meujeuhna diajenan. Sabab karah kumaha oge, novel judulna Galuring Gending teh milu ngabeungharan hasanah sastra Sunda. Najan salila ieu mah, “eksistensina” jarang pisan diadu-renyomkeun.